Oleh: Bung Rosy
SUMENEP, Portalindonesia.co- Gapura Timur bukan sekadar nama sebuah desa biasa. Di hamparan tanah seluas 2,63 kilometer persegi ini, sejarah peradaban Islam Kecamatan Gapura mulai bertunas. Jejak kejayaan itu masih bisa kita saksikan dari kokohnya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berdiri megah di sana. Dua di antaranya yang paling monumental adalah Nasy'atul Muta'allimin di sisi selatan dan Miftahul Huda di sisi utara, bagaikan dua pilar penyangga yang menjaga tradisi keilmuan desa ini.
Berdasarkan LKjIP Kecamatan Gapura 2023, desa yang terbagi dalam empat dusun ini dihuni oleh 2.448 jiwa yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada bertani dan berkebun. Anugerah alam yang begitu murah hati - tanahnya subur, bukan sekadar sawah tadah hujan yang hanya bisa ditanami setahun sekali. Potensi yang seharusnya bisa menjadi modal besar untuk membawa Gapura Timur melesat jauh dalam pembangunan.
Tahun 2025 ini, Gapura Timur menerima aliran dana desa sebesar Rp 1.102.170.000 - angka yang tidak kecil dan menempatkannya sebagai desa dengan dana terbesar ketujuh se-Kecamatan Gapura (data DJPK Kemenkeu RI). UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan jelas menyatakan bahwa dana desa adalah bentuk pengakuan negara terhadap hak asal-usul desa dan kewenangan lokal berskala desa. Artinya, desa memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus pembangunannya sesuai kebutuhan prioritas.
Namun realita di lapangan justru mempertontonkan ironi yang menyakitkan. Alih-alih menjadi solusi, dana desa yang seharusnya menjadi berkah justru seperti menguap entah kemana. Masyarakat Gapura Timur harus bergotong-royong memikul beban pembangunan yang semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah desa.
Berikut adalah daftar pengorbanan warga yang seharusnya membuat kita semua merenung:
1. Perbaikan jalan penghubung dusun Bungduwak dan Pangabasen - jalan vital yang menjadi akses utama menuju lembaga pendidikan, tapi dibiarkan rusak bertahun-tahun
2. Pembenahan jalan di Dusun Dikkodik dan Pangabasen - infrastruktur dasar yang semestinya menjadi prioritas
3. Perbaikan jembatan di Pangabasen - jembatan yang nyaris membahayakan anak-anak sekolah
4. Pembangunan ulang rumah warga di Dikkodik yang nyaris roboh dan sudah memakan korban
5. Pengumpulan dana swadaya untuk membeli rumah bagi janda tuna wisma di Dikkodik
6. Tragedi memilukan dimana seorang lansia tertimpa rumahnya sendiri saat hujan deras, dan akhirnya meninggal beberapa bulan kemudian
Fakta-fakta ini bagai tamparan keras di tengah gemerlap angka dana desa yang mencapai miliaran rupiah. Di mana peran pemerintah desa? Apa yang sebenarnya terjadi dengan anggaran yang seharusnya bisa meringankan beban warga ini?
Yang lebih memilukan, semua ini terjadi di sebuah desa yang sebenarnya memiliki pondasi kuat sebagai pusat pendidikan Islam. Desa yang seharusnya bisa menjadi contoh pembangunan berbasis nilai-nilai keagamaan, justru terjebak dalam lingkaran pembiaran dan ketidakpedulian.
Kini, warga hanya bisa berharap semoga saja balai desa yang menjadi simbol pemerintahan tidak perlu diperbaiki secara swadaya pula. Tapi harapan saja tidak cukup. Perlu tindakan nyata, transparansi pengelolaan dana, dan yang paling penting kemauan politik dari para pemangku kebijakan untuk benar-benar memprioritaskan kepentingan rakyat.
Gapura Timur layak mendapatkan yang lebih baik. Warga yang selama ini dengan ikhlas berswadaya patut mendapatkan pertanggungjawaban. Karena pembangunan sejati bukan sekadar tentang angka-angka di laporan keuangan, tapi tentang sejauh mana kesejahteraan itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat di tingkat paling bawah.
Desa Gapura Timur Dalam Bayang-Bayang Swadaya